Sabtu, 16 Juli 2011

Derai Ma Yan, Kisah Inspiratif Remaja Agar Berjuang untuk Pendidikan


MA YAN adalah buku yang berkisah tentang gadis kecil di salah satu provinsi termiskin di Cina yang berjuang dan berkorban demi mendapat pendidikan yang sedikit layak.

Membaca Ma Yan, kita seperti diajak untuk merenungi perjalanan hidup terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Betapa seorang gadis kecil harus menempuh perjalanan sejauh 20 km untuk mencapai sekolah setiap minggunya. Bekal bakpau sebanyak 6 buah adalah bekal makan malam sebanyak malam yang akan dihabiskannya di asrama sekolah yang miskin. Itu pun harus dijaganya dengan rapi bila tak ingin dirampok oleh para perampok di sepanjang perjalanan menuju sekolah.

Satu ketika Ma Yan sangat menginginkan sebuah pena seharga 2 yuan yang setara dengan uang sakunya selama 2 minggu. Uang saku itu bukan untuk jajan, tapi sebagai bekal membeli sedikit sayur sebagai teman nasi putih untuk makan siang setiap harinya selama di asrama. Uang itu pula yang seharusnya juga untuk transportasi naik traktor apabila ia merasa capek berjalan sejauh 20 km. Tapi karena keinginan yang kuat untuk memiliki pena tersebut, Ma Yan harus rela menahan diri untuk bisa menikmati secuil sayur sebagai teman nasi.

Jadilah selama 3 minggu (ini karena minggu ke-2 ibunya tidak mempunyai 1 yuan sebagai bekal) Ma Yan harus makan nasi putih tanpa ada sayur apalagi lauk. Bahkan garam pun tak ada untuk menghilangkan rasa tawar itu di mulutnya. Hingga satu titik, Ma Yan benar-benar tak mampu menelan nasi putih tersebut bahkan bila dipaksa, ia merasa mual ingin muntah. Praktis ia pun harus berpuasa 24 jam demi menjumpai bakpao sebagai menu makan malamnya setiap hari. Di pagi hari, jatahnya hanyalah secangkir teh panas tanpa ada sesuatu untuk dimakan.

Episode paling menyentuh adalah ketika ibunya harus memilih antara Ma Yan dengan adik laki-lakinya untuk meneruskan sekolah karena keterbatasan biaya. Ma Yan protes dalam tulisan di balik bungkus tepung yang dibacakannya di depan ibunya karena sang ibu sendiri buta huruf. ‘Ibu, aku tak mau berhenti sekolah. Lakukan sesuatu agar aku bisa tetap sekolah sehingga nasib kita bisa berubah.’ Sampai disinilah kemudian pembaca diajak untuk berderai-derai meneteskan air mata menyelami perjuangan Ma Yan untuk membuktikan pada orang tuanya bahwa ia memang layak untuk terus sekolah dengan menunjukkan prestasi akademis.

Pena yang membuat Ma Yan begitu terobsesi, akhirnya mengantarkan lembaran buku harian gadis kecil itu ke tangan sebuah grup petualang dari Prancis yang sempat datang ke desa terpencil tersebut. Ibu Ma Yan yang menyerahkan lembaran-lembaran kertas itu dengan asumsi para bule itu mencari anak pintar di desanya. Hal itu cukup membuat Ma Yan tergugu karena dengan hilangnya buku diary tersebut, seakan hilang pula sebagian besar dari jiwanya, entah ke mana. Tapi sang ibu meyakinkan bahwa naluri seorang ibu tak akan salah. Dan benarlah, kisah itu akhirnya bisa dikonsumsi oleh banyak orang di luar desa kecil tersebut untuk diambil intisari maknanya dan mengayakan jiwa.

..Cerita Ma Yan menginspirasi kita semua agar lebih bersyukur terhadap kondisi yang ada dengan segala keterbatasan. Kondisi ini menunjukkan bobroknya sebuah sistem yang itu bukan berasal dari Islam…

Cerita di atas menginspirasi kita semua agar lebih bersyukur terhadap kondisi yang ada dengan segala keterbatasan. Tapi juga pada saat yang sama, kondisi ini menunjukkan pada kita tentang bobroknya sebuah sistem yang itu bukan berasal dari Islam. Padahal, menuntut ilmu dalam Islam itu adalah hak dan kewajiban bagi muslim laki-laki dan perempuan. Pemerintah pun dengan sadar dan bertanggung jawab memberikan pelayanan berupa sekolah gratis. Jadi tak perlu ada lagi fenomena Ma Yan lain yang begitu girisnya mengalami kepahitan hidup demi mendapat secuil ilmu pengetahuan. Dan ini semua tak akan mungkin terwujud tanpa adanya sistem Islam yang diterapkan secara keseluruhan. So, ayo kita perjuangkan kembalinya kehidupan Islam agar tak ada lagi gadis sengsara seperti Ma Yan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar