Sabtu, 16 Juli 2011

Nikmatnya Menjadi Muslimah, Kehidupannya Sudah Dijamin


Betapa nikmatnya menjadi seorang muslimah, tidak perlu bekerja, namun tetap diberi hak kepemilikan harta. Ya, Allah mengangkat dari perempuan kewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya atau untuk mendukung kemampuan finansial diri dan keluarganya. Allah menetapkan bahwa kewajiban tersebut adalah mutlak milik kaum laki-laki. Dia menginstruksikan laki-laki agar bertanggungjawab memelihara dan mengasuh perempuan di setiap fase kehidupan mereka.

Dalam Islam, ketika seorang perempuan masih kecil, maka dia berada dalam pengasuhan dan tanggung jawab ayahnya. Tanggungjawab sang ayah menjadi terangkat ketika anak perempuannya menikah atau meninggal dunia (baik sang ayah atau anaknya). Jadi hak pengasuhan tidak berhenti ketika anak perempuan memasuki usia tertentu, sebagaimana dinyatakan banyak undang-undang (UU) bodoh yang diikuti kebanyakan manusia.

Setelah seorang perempuan menikah, maka tanggung jawab pengasuhan dan perawatan jatuh kepada suaminya, sepanjang dirinya berada di bawah penjagaannya berdasarkan akad pernikahan. Kemudian apabila seorang perempuan tidak memiliki ayah, dan belum bersuami, maka tanggung jawabnya jatuh kepada saudara laki-lakinya yang menanggung peran sebagai ayahnya ketika tiada. Lalu ketika dia tidak memiliki saudara laki-laki, maka tanggung jawab jatuh kepada siapa pun kerabat laki-laki yang terdekat dengannya, yaitu kerabat laki-laki yang akan mewarisinya, dan dia pun akan mewarisi mereka.

Lalu apabila dia tidak juga memiliki kerabat laki-laki, maka kewajiban untuk menjaga dan merawatnya jatuh kepada komunitas muslim. Dengan demikian tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab komunal, dan jika tidak ada orang yang menunaikan tanggung jawab itu, maka semua akan berdosa.

Selanjutnya, jika seorang perempuan memiliki kekayaan, maka Islam menjatuhkan darinya kewajiban untuk menanggung hidup seseorang. Dengan kehadiran suaminya (atau ayahnya), dia tidak dikenakan kewajiban membelanjakan hartanya untuk kebutuhan anak-anaknya, kecuali dia memang mau melakukannya dengan niat beramal baik. Pun demikian, seorang wanita tidak dikenakan kewajiban bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan atau merawat diri dan anak-anaknya.

Tidak adanya kewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan atau merawat dirinya adalah semata-mata untuk menjaganya agar wanita tidak masuk ke jurang kenistaan serta kehinaan. Ini mengingat, betapa banyaknya pekerjaan yang dilakukan wanita demi meningkatkan taraf kehidupan, namun ternyata meniscayakan penghinaan, pelecehan, dan penderitaan.

“Pelecehan seksual dalam lapangan pekerjaan sangatlah luas sekali perkembangannya, sulit dipercaya dan dimengerti. Dari studi terhadap 2000 lembaga dan industri tampak jelas, bahwa daya tarik seksual (sex appeal) menjadi salah satu persyaratan mutlak yang terselubung untuk mendapatkan pekerjaan khususnya karyawati operator telepon, penerima tamu, sekretaris, dan tukang ketik. Sampai pada penerimaan pegawai Pemerintah Federal pun sudah menjadi ketetapan baku yang tidak diumumkan,” tulis DR. Muhammad Ali Al-Dar dalam bukunya Wanita Karir dalam Timbangan Islam.

Selain itu, terangkatnya tanggung jawab bekerja di luar rumah dari wanita adalah untuk menjaganya dari godaan dan percampuran dengan laki-laki (ikhtilath). Segenap hikmah dari aturan-aturan Islam tersebut merupakan bagian dari keistimewaan yang Allah ciptakan untuk ciptaan-Nya.

…Seandainya wanita dituntut untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ditambah lagi dengan tugas kehamilan, melahirkan, menyusui, maka hal itu merupakan ketidakadilan baginya…

Seandainya wanita dituntut untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ditambah lagi dia pun mesti menunaikan tugas kehamilan, melahirkan, menyusui, maka hal itu menjadi kewajiban yang di luar kemampuannya, serta merupakan ketidakadilan baginya. Selain itu, pekerjaannya akan menyita waktunya dalam menjalankan tugas-tugas alamiahnya seperti mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak-anaknya. Hal ini sering terjadi di seluruh komunitas orang-orang yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan bagi hamba-hambaNya. Yakinlah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terbaik bagi makhluk-Nya.

Dalam komunitas non-muslim, laki-laki begitu senang dengan situasi tersebut (wanita bekerja). Mereka merasa mendapatkan keuntungan lebih dari para wanita dan menjatuhkan dari mereka sejumlah kewajiban yang sejatinya mutlak milik mereka, seperti memenuhi kebutuhan keluarga, dan lainnya. Tak pelak, sikap tersebut merupakan sikap egois para kaum Adam.

Dan sedihnya, banyak wanita justru senang dengan keadaan mereka yang harus mengombinasikan pekerjaan di luar rumah dengan tugas-tugas alamiah mereka semisal mengandung, melahirkan, menyusui, dan lain sebagainya.

Hal tersebut terjadi disebabkan hasrat tinggi mereka terhadap hiburan dan kesenangan hidup, serta berbangga-bangga atas kedua hal itu, bukan karena adanya nilai moral dalam hal pekerjaan mereka di luar rumah. Tidak seperti yang digembar-gemborkan, bekerjanya wanita sama sekali tidak memiliki nilai nyata dalam mendorong perekonomian. Alih-alih mendatangkan kebaikan, yang ada malah mereka bersaing dengan kaum laki-laki mendapatkan pekerjaan di luar rumah. Perempuan justru menjadi penyebab meruyaknya pengangguran di kalangan laki-laki, sehingga memicu terjadinya beragam tindak kriminal.

Selain itu, bekerjanya para wanita pun meningkatkan penggunaan konsumsi kosmetik, pakaian, dan parfum yang menjadi barang-barang-barang penting bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah. Dan pastinya, semua hal itu masuk dalam kategori tabarruj yang dilarang Islam. Tabarruj maksudnya adalah seorang wanita menampakkan perhiasannya dan kecantikannya serta terlihat bagian-bagian yang seharusnya wajib ditutupi, di mana bagian-bagian itu akan memancing syahwat pria.

Lebih jauh lagi, setiap wanita yang bekerja di luar rumah, dalam banyak kesempatan menjadi penyebab terbatasnya kesempatan bekerja bagi laki-laki yang bisa bekerja di posisi perempuan. Sementara laki-laki yang mengambil posisi seorang wanita di dalam rumah tangga tidak akan bisa menggantikannya dalam melakukan berbagai tugas domestik.

Kita mungkin bertanya-tanya, apa nilai-nilai ekonomi, moral, atau sosial dari bekerjanya wanita di pabrik-pabrik, militer, membersihkan jalan, bandara, hotel, petugas keamanan, dan pekerjaan lainnya yang sejatinya menistakan mereka? ingatlah bahwa kehidupan dunia fana dan kehidupan akhiratlah yang abadi.

Semua itu terjadi dikarenakan manusia jauh dari Allah sehingga menjalani kehidupan yang nestapa. Allah telah memeringatkan siapa saja yang menjauhkan diri dari-Nya. Dia berfirman, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah dia, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan” (Thaha 124-126).

Kendati Islam tidak mewajibkan wanita untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan menetapkan laki-laki untuk bertanggungjawab merawatnya di setiap fase kehidupannya, syariat pun tetap memberi wanita hak (ketika dia telah dewasa dan kompeten) untuk memiliki dan mengatur harta atau properti miliknya tanpa harus meminta izin kepada ayah, suami, atau yang lainnya. Demikianlah Islam memuliakan wanita. Dia tidak perlu bekerja, namun tetap memiliki hak kepemilikan dan pengaturan harta.

Wanita memiliki hak untuk memiliki setiap bentuk properti; untuk membeli dan menjual; untuk memberi hadiah dan sumbangan; dan segenap bentuk pengeluaran serta belanja (tanpa pemborosan) lainnya, selama mereka memiliki harta dan pendapatan dari sumber-sumber yang ditetapkan syariat.

Namun apabila seorang wanita tidak kompeten, Islam tidak membedakan antara laki-laki dan wanita. Laki-laki pun bisa dinyatakan tidak kompeten sehingga terhalang hak kepemilikan dan pengaturan hartanya. Dengan demikian, wanita pun bisa menjadi sosok yang secara hukum syariat berhak mengatur kekayaannya.

Islam memberi wanita sejumlah sumber spesifik kepemilikan harta dan kekayaan, seperti mas kawin, warisan, pemberian, dan segenap ketetapan sah lainnya dalam kepemilikan harta. Bahkan, seorang istri dibolehkan mengambil harta suaminya yang pelit, tanpa sepengetahuannya.

…Islam pun menetapkan seorang muslimah tidak berkewajiban menanggung kehidupan siapa pun, namun demikian dia tetap mendapatkan setengah dari bagian warisan yang diterima laki-laki…

Dari Aisyah, dia berkata, “Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan menemui Rasulullah SAW seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit (kikir), tidak memberikan nafkah kepadaku dengan nafkah yang mencukupi untukku dan anakku kecuali dari apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena hal itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Ambillah dari hartanya dengan cara ‘ma’ruf’ apa yang cukup buatmu dan anakmu” (Muttafaq Alaih)

Islam pun menetapkan seorang muslimah tidak berkewajiban menanggung kehidupan siapa pun, namun demikian dia tetap mendapatkan setengah dari bagian warisan yang diterima laki-laki. Wajar mendapatkan setengah bagian laki-laki dalam warisan, karena dia tidak harus bertanggungjawab menanggung hidup siapa pun. Bahkan dengan bagiannya itu, dia bisa melengkapi kekayaan laki-laki (suaminya) yang bertanggungjawab untuk bekerja dan menyediakan kebutuhan hidup keluarganya.

Dalam hal ini, Islam jelas menentang praktik UU jahiliyah yang melarang wanita mendapatkan warisan di bawah kondisi apapun, dikarenakan wanita tidak menanggung siapa pun atau tidak berperang melawan musuh. Allah menetapkan dalam firman-Nya, “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan” (An-Nisa’ 7)

Tidak diragukan lagi, orang-orang yang mengklaim bahwa Islam tidak adil kepada wanita karena memberi bagian setengah dari laki-laki dalam warisan adalah orang-orang bodoh dan tidak memahami distribusi hak dan kewajiban yang telah Allah tetapkan dalam hukum-Nya. Allah menyatakan, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Al-Ma’idah 50).

Dengan demikian, betapa nikmatnya menjadi muslimah. Dia tidak perlu bekerja, namun tetap diberi hak kepemilikan dan pengaturan harta, serta masih mendapatkan harta warisan. Betapa luhurnya pemuliaan Islam kepada wanita, dan betapa payahnya penghargaan hukum di luar hukum Islam kepadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar