Sabtu, 16 Juli 2011

Berguru kepada Kematian


Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat semasa SMA meninggal dunia. Usia yang masih muda karena anak-anaknya pun masih kecil. Hal itu mengetuk dinding hati untuk mengingatkan diri tentang ajal. Betapa ia datang tanpa diminta dan direncana. Sungguh, membuat hati makin merasa kerdil di hadapan-Nya.

Beberapa tahun berselang, ada juga teman yang meninggal ketika di usia belasan tahun dan dia masih duduk di bangku SMA. Saat itu ia sempat bercanda bahwa alangkah indahnya menjadi perawan di surga. Dan ternyata, ia meninggal tak lama setelah mengungkapkan hal itu. Giris hati. Betapa ajal datang tak disangka-sangka, tak pedulu juga berapa usia. Tak harus menunggu tua untuk mati. Bahkan kanak-kanak pun, tak bisa menghindar dari kematian bila sang ajal tlah tiba.

Peristiwa kematian mengajari kita banyak hal, utamanya adalah kesadaran bahwa satu ketika nanti, kitalah yang berada di posisi itu. Terbujur kaku tanpa daya. Tinggal seonggok daging tanpa nyawa yang siap kembali ke tanah. Hilang semua harta, tahta dan gelar yang diperjuangkan selagi masih ada nyawa. Sungguh, ternyata akhir semua pencapaian itu hanyalah terbujur kaku berteman kain kafan saja.

...Peristiwa kematian mengajari kita kesadaran bahwa satu ketika nanti, kita terbujur kaku tanpa daya. Tinggal seonggok daging tanpa nyawa. Sungguh, ternyata akhir semua pencapaian itu hanyalah terbujur kaku berteman kain kafan saja...

Sobat, jangan pernah takut mengingat mati. Mati adalah sesuatu yang alami yang pasti menimpa setiap makhluk yang bernyawa. Rasa takut mengingat mati itu haruslah menjadi pelecut diri untuk semakin menjadi lebih baik dari hari ke hari. Bukan malah menghindar dan mencoba lupa diri seolah-olah bisa hidup seribu tahun lagi.

Mati adalah pengingat bagi diri bahwa banyak amal yang masih belum terlaksana di saat usia semakin beranjak. Semakin ingat mati, semakin semangat kita mengejar bekal untuk kehidupan nanti. Bukan sebaliknya, ingat mati menjadikan loyo prestasi karena merasa itu semua tak akan dibawa mati. Saya ingat salah satu teman yang berkomentar dangkal ketika tahu ada yang mengambil kursus computer. “Toh, di akhirat nanti kemampuan computer tak bakal ditanya malaikat Mungkar Nangkir,” begitu katanya.

Betul. Sungguh naïf apabila ada malaikat yang bertanya pertanyaan demikian. Tapi itu tak berarti umat Islam boleh bersikap pasif dan anti teknologi. Bila demikian adanya, maka inilah yang diharapkan oleh musuh-musuh Islam yaitu ketika umat bangga berada dalam kebodohan dengan alasan zuhud dan qonaah. Amat mudah bagi mereka untuk menghancurkan Islam bila umatnya sudah dihinggapi penyakit sekulerisme ini yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Seolah-olah ilmu computer dan Islam adalah dua bidang berbeda yang tak mungkin bisa ketemu.

Sungguh benar sabda Rasullah SAW yang menyatakan bahwa berusahalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan berusahalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok. Dunia akhirat seorang muslim itu seimbang, tak ada pemisah-misahan antara kehidupan dunia dan akhirat. Memaksimalkan potensi diri di dunia untuk kepentingan tabungan di akhirat kelak. Jadi, ada sebuah kesinambungan hubungan antara kehidupan dunia dan akhirat kelak.

..Semakin ingat mati, semakin semangat kita mengejar bekal untuk kehidupan nanti. Bukan sebaliknya...

Kilasan tafakur diri seperti itulah yang menghantar kepergian seorang sahabat di tidurnya yang panjang. Seiring mata yang basah dan hati yang gerimis, terbersit tanya di hati, “Adakah dia dulu sempat mengira bahwa usianya akan berakhir semuda ini?” Rahasia ajal, sungguh sebuah misteri Ilahi. Tergetar hati mengingat bahwa satu ketika nanti, diri ini juga akan terbujur kaku seperti jasadnya yang tlah ditinggalkan nyawa.

Benarlah apa yang diindikasikan oleh Rasulullah tercinta bahwa pada diri seorang mukmin, semua kondisi itu baik baginya. Bila ia mendapat kenikmatan maka ia bersyukur. Dan bila kesedihan yang didapat, maka ia bersabar. Syukur dan sabar itu sama-sama baiknya.

Ya Allah….saksikanlah bahwa saya bersyukur atas sisa usia sehingga bisa menambah amal baik untuk bertemu dengan-Mu kelak. Sehingga bila saatnya nanti sang ajal menjemput, saya siap menyambutnya dengan senyum terindah. Dan saya bersabar atas kepergian seorang sahabat yang di saat terakhirnya menyebut-nyebut nama saya karena rasa rindu lama tak bertemu. Dan ketika saya menjawab kerinduan itu, kami tak lagi bisa saling memeluk. Hanya untaian doa saja yang mampu kupersembahkan mengiringi tidur panjangnya menuju kehidupan baru. Selamat jalan, sahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar